Selasa, 15 Januari 2013

Berhentilah Menjadi Gelas

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. Sang Guru bertanya.  “Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ”

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya.” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.” Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu!” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya.
Wajahnya kini meringis karena meminum air asin. “Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “Asin, dan perutku jadi mual” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku.”

Sang Guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke telaga.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu!” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir telaga. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya.
Ketika air telaga yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?” “Segar, segar sekali.” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.

Tentu saja, telaga ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air telaga ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya. “Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?” tanya sang guru “Tidak sama sekali” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi.

Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air telaga sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan. “Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu menjadi seluas telaga agar kau bisa menikmati hidup”.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada banyak cara menikmati sepotong kehidupan saat kalian sedang tertikam belati sedih. Salah satunya dengan menerjemahkan banyak hal yang menghiasi dunia dengan cara yang tak lazim. Saat melihat gumpalan awan di angkasa. Saat menyimak wajah-wajah lelah pulang kerja. Saat menyimak tampias air laut yang membuat bekas di langit-langit kamar. Saat melihat bintang gemintang yang terlihat memesona, Saat terdengar nyanyian suara deburan ombak yang memecah kesunyian. Dengan pemahaman secara berbeda, maka kalian akan merasakan sesuatu yang berbeda pula. Memberikan kebahagiaan utuh yang jarang disadari atas makna detik demi detik kehidupan. 

Salam pena

_asma_

1 komentar:

Chiken Kremes mengatakan...

bagus mba, memotivasi :)
mampir ya :)
cius-enelan,blogspot.com

Posting Komentar