Stasiun Gambir Jakarta 18 November 2012 |
Denting jam lima masih 2 jam lagi. Aku dan seorang sahabat tiba di Stasiun Gambir lebih awal dua jam dari keberangkatan kereta. Sore ini, Gambir kembali bercerita hiruk pikuk kehidupan manusia di jakarta. Panas, gerah, sumuk rasanya cukup mewakili udara sore hari ini. Kepulan asap kendaraan seolah sudah memenuhi gelap gempita diatas sana. Fenomena yang cukup mewakili fakta bahwa Ibukota ini sudah tidak sehat lagi.
2 jam, waktu yang cukup lama untuk menunggu. Huft..menunggu memang seringkali membuat orang tak sabar. Akupun bergabung dideretan kursi tunggu calon penumpang kereta yang lain. Bercengkrama, berkenalan dan saling berbagi cerita untuk menepis rasa suntuk menunggu. Tujuan perjalanan mereka berbeda beda, ada yang baru saja menghabiskan waktu week end di jakarta dan akan kembali ke daerah asal untuk rutinitas. Ada yang bepergian dengan tujuan bersilaturahim dengan keluarga di luar kota jakarta dan lain sebagainya. Demikian juga denganku. Bertolak ke ibukota ini untuk menempuh ujian kuliah di kampus baruku Bina Nusantara.
Sore itu, Stasiun Gambir kembali terlibat dalam ragam cerita episode hidupku. Demi merajut kembali benang perjuangan untuk satu tujuan mulia (insyaAllah).
Sesekali ujung mataku mengena tepat di ujung tugu monas yang tampak sudah bercahaya oleh lampu. Sayangnya sampai saat ini belum kesampaian untuk melihatnya dari dekat. *Semoga diberi kesempatan untuk kesana lagi.
Monas, cuman bisa liat dari jauh ..:P |
17.00 WIB kereta eksekutif yang kami tunggu-tunggu pun sudah mulai terlihat gerbongnya. Perlahan mulai mendekat dan terhenti sesaat tepat didepan kursi tunggu penumpang. Satu persatu penumpang mulai turun dan berganti tempat duduk dengan penumpang lainnya yang baru akan melakukan perjalanan. Tak terkecuali aku.
Disekitar kusaksikan fenomena yang telah menjadi bagian dari keramaian seperti halnya ditempat ini. Para tukang angkut berlari sekencang-kencangnya mengejar pintu kereta. Rebutan gerbong, rebutan rezeki. Masih setengah berjalan, sebagian dari mereka melompat paksa, sebagian lagi menunggu pintu selanjutnya. Hap! Berhamburan mereka mencari mangsa, koper-koper berat, kardus bertali, atau tas jinjing besar. Terlihat, ada yang sumringah karena lapaknya laku, ada yang cemberut karena tak mendapat mangsa. Lelaki separuh baya di depanku berjalan gontai sambil ngos-ngosan, menyeret kaki layaknya tergopoh, lemas akibat tak mendapat seribu, dua ribu atau sepuluh ribu perak sore ini. Dan aku memohon maaf di dalam hati karena tak dapat membantu akibat tak membawa koper besar. Wajah lusuh itu tak semestinya beredar di ibukota.
Memang tidak ada yang spesial dari tempat ini, mungkin hanya terasa baru saja bagiku. Karena ini kali pertamanya menginjakan kaki ditempat ini. Tapi ada makna dari goresan takdir perjalananku hari ini. Namun bukan tentang Stasiun Gambirnya yang terasa asing bagiku, juga bukan fenomena para tukang angkut yang baru saja kusaksikan. Tapi ada satu hal penting saat dimana sebuah perpisahan tidak lagi terasa menyedihkan dan sesak bagi aktor pelakunya, akan tetapi menjadi penyemangat dalam langkah-langkahku kedepan.
Terima kasih sobat, Ketika sering kukatakan "thank you for everything", saat ini ingin kuucapkan beribu kali padamu "Thanks for everything". ^_____^
* Teriakaaan kata Semangaaaaaat dan tersenyumlah, karena kita akan berjumpa lagi diwaktu dan tempat yang lebih indah, tidak hanya di Stasiun Gambir ini.
Ditulis pada 18 November 2012
0 komentar:
Posting Komentar